Selasa, 21 Juni 2011

Ketika Kajang Berdamai dengan Modernitas

Sumber : http://oase.kompas.com/read/2011/06/18/1319313/Ketika.Kajang.Berdamai.dengan.Modernitas

(Oleh : Aswin Rizal Harahap & Maria. S. Sinurat )

Jumalang (12), Jaha (10), dan Adi (9) tumbuh bebas di alam Kajang yang menganugerahi mereka naluri untuk menggembala sapi dan menanam padi. Dengan antusiasme yang sama, ketiganya belajar mengenal aksara dan angka untuk memahami dunia luar yang larut dalam derasnya arus modernisasi.

Kesunyian malam hari di Dusun Pangi, Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, sekitar 200 kilometer (km) selatan Kota Makassar, mendadak pecah oleh teriakan tiga sekawan itu. ”Kak Bibi.... Kak Bibi! Ayo belajar, Kak Bibiiii...!” pekik mereka berulang-ulang selepas magrib.

Habibi (27), pria yang dipanggil-panggil itu, sudah paham betul tabiat para bocah yang tidak sabaran itu. Sekali saja kegiatan belajar tidak tepat waktu, para bocah itu kecewa dan berhenti belajar. Habibi ditemani Sulfiani (23) bergegas menemui anak-anak itu sambil membawa buku dan alat tulis yang dibutuhkan.


Proses belajar-mengajar berlangsung di sebuah rumah beratap lancip berukuran 2 meter x 3 meter yang terbuat dari kayu dengan atap daun pohon nipah. Di kawasan adat yang tidak dialiri listrik, satu-satunya penerangan hanyalah pelita. Anak-anak yang berjumlah 10 orang tampak antusias belajar kendati harus berdesak-desakan. Jumalang sudah lancar membaca, Jaha mahir soal perkalian, dan Adi mulai bisa menulis.

Bagi Jumalang, kondisi tersebut jauh lebih baik ketimbang empat tahun silam saat ia belum kenal satu huruf pun. Ia dan lima saudaranya tidak bersekolah seperti orangtua mereka. Sekolah terdekat, SD Negeri 351, sebenarnya sudah dibangun di pintu masuk kawasan adat yang berjarak 1 km dari Dusun Pangi.

Namun, sekolah bukanlah pilihan hidup yang dianut keluarga besar Jumalang. Sejak usia enam tahun, ia mulai menggembala sapi. Enam tahun kemudian, dia sudah mengurusi lima ekor sapi setiap hari. Jumalang tak pernah membayangkan ingin menjadi dokter, pilot, maupun insinyur, seperti jamaknya cita-cita yang lantang diucapkan bocah seusianya di perkotaan. Angan-angannya sederhana saja. ”Ingin bekerja di sawah,” tuturnya.

Anak-anak yang berdiam di kawasan adat Ammatoa memiliki mimpi sesederhana itu. Setidaknya, bagi anak yang berdiam di tujuh dusun di Kajang Dalam, hidup berjalan alami. Pengalaman sehari-hari yang mereka peroleh tidak lebih dari sekadar melihat sapi yang kawin hingga panen padi. Kemampuan dasar untuk membaca, menulis, dan menghitung terasa begitu mewah.

Kendala mulai muncul ketika anak-anak umumnya bekerja di luar kawasan adat saat usia mereka menginjak remaja. Mereka tergiur untuk menjadi buruh harian di Kota Makassar sambil menunggu musim panen di dusun. Tidak sedikit pula yang jadi pekerja migran di Malaysia.

Namun, anak-anak Kajang yang polos harus menghadapi kenyataan bahwa dunia di luar kawasan adat sungguh berbeda. Tambang (24), buruh bangunan di Makassar, misalnya, tidak pernah mengetahui jumlah upah yang dituliskan mandornya di lembaran kuitansi. ”Saya tidak mengenal angka. Ya, saya yakin saja mereka tidak menipu saya,” ujar ayah satu anak ini malu-malu.

Pengalaman itulah yang mendorong Tambang untuk bergabung dengan Jumalang dan kawan-kawan sekomunitasnya sejak tiga bulan lalu. Ia rutin mengikuti kegiatan pendidikan nonformal yang dimotori Habibi dan Sulfiani setiap malam. Saat ini, Tambang setidaknya sudah bisa menghitung dan mengeja huruf. Ia berharap kecakapan ini menjadi bekal agar kelak tak mudah dibodohi di mana pun berada.

Akses pendidikan

Setiap anak berhak atas pendidikan, tak terkecuali anak Kajang. Namun, upaya pemerintah untuk memenuhi hal ini terkadang berbenturan dengan pasang, pesan lisan leluhur yang dianut komunitas Kajang. Leluhur rupanya melarang pembangunan tembok di kawasan adat.

Agar akses pendidikan tetap terjangkau anak-anak Kajang, pemerintah membangun SD Negeri 115 tahun 1970 di Dusun Balagana, sekitar 5 km dari kawasan adat. Pemerintah lantas membangun SD Negeri 351 pada tahun 1993 yang berlokasi lebih dekat dengan kawasan adat. Sekolah ini persis berada di depan pintu masuk kawasan adat dan hanya berjarak 1 km dari Dusun Pangi.

Tersedianya akses pendidikan itu perlahan-lahan turut mengubah cara pandang orangtua di kawasan Kajang Dalam. Bolong (36), warga Dusun Pangi, akhirnya menyekolahkan sang buah hati, Ello (9), yang kini duduk di kelas IV SD. Ello pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.

Setiap pagi, bocah itu menempuh jalan berbatu dan menanjak sejauh 1 km untuk menuju sekolah. Ia dan bocah sebayanya menenteng sepatu dan baru memakainya sebelum masuk ke ruang kelas. Dukungan keluarga turut mendorong Ello berprestasi di sekolah. Sejak kelas I SD, ia selalu menempati ranking II di kelasnya.

Rajin bersekolah tidak membuat Ello alpa membantu kedua orangtuanya, Bolong dan Napi (34). Seusai menyantap telur dadar kesukaannya saat pulang sekolah, Ello bergegas menuju sawah untuk memberi makan kuda kesayangan keluarga. Tak jarang pula ia menuntun kuda yang membawa beberapa karung gabah hingga tiba di rumah menjelang magrib.

Ello beruntung karena tidak semua orangtua di kawasan adat mendukung anak-anak mereka bersekolah. Orangtua umumnya masih menganggap anak sebagai bagian dari pekerjaan sehari-hari. Hal ini pula yang membuat pendidikan formal menemui tantangan berat di Kajang.

Jumlah anak putus sekolah di SDN 351 yang dihuni sekitar 200 siswa, misalnya, cukup tinggi. Dalam kurun waktu enam bulan saja pada tahun 2010, sebanyak 21 anak meninggalkan sekolah. Kepala SD Negeri 351, Sutta PD, mengatakan, mayoritas siswa tak melanjutkan sekolah karena harus membantu orangtua bekerja di sawah. ”Padahal, jika lebih dari tiga bulan tidak masuk sekolah, terpaksa harus kami keluarkan,” ujarnya.

Biasanya siswa menghilang satu persatu saat musim panen tiba. Anak akan meninggalkan sekolah dan bergabung dengan orangtuanya di sawah. Saat ujian nasional tingkat SD tahun 2010, Sutta dengan berat hati tidak meluluskan dua murid yang tidak hadir karena bekerja. Hal itu dilakukan demi menegakkan aturan pendidikan nasional.

Namun, bukan berarti pihak pengelola sekolah berpangku tangan. Mereka justru berkompromi ketika Ammatoa meminta warna seragam siswa SD Negeri 351 berganti warna menjadi putih-hitam demi merangkul siswa. Ammatoa berpendapat bahwa pakaian (bagian bawah) yang berwarna merah hati menyimpang hukum adat.

Para murid akhirnya tak lagi mengenakan seragam putih-merah hati sejak Januari 2011. dengan demikian, anak-anak yang tinggal di Kajang Dalam bisa mengenakan busana sekolah tanpa melanggar adat.

Faktor lain yang menyebabkan pendidikan formal cukup sulit diterima di komunitas adat adalah waktu belajar. Kultur penggembala anak Kajang Dalam yang terbiasa dengan kebebasan tak mudah diakomodasi oleh pendidikan formal. Jalur pendidikan nonformal akhirnya menjadi solusi efektif untuk menyiasati jadwal belajar yang fleksibel dan mata pelajaran yang tak sekadar mengacu pada teks. Anak-anak Kajang Dalam bisa dengan spontan meminta diajari membaca di sawah, tepi hutan, maupun di kawasan air terjun.

Atmosfer ini terbangun berkat kearifan Puto Pallasa (65), ammatoa (pemimpin adat), membuka pintu terhadap kehadiran Sokola tahun 2007 melalui musyawarah desa. Pria yang lekat dengan senyuman teduh ini amat menyadari, anak Kajang harus memiliki bekal untuk menyikapi modernisasi yang sulit dihindari.

Bagi Pallasa, bekal pendidikan adalah jembatan untuk memahami dunia. ”Pendidikan itu penting demi mempertajam mata hati, ” tuturnya.

Dengan kesadaran itu pula, Pallasa mengizinkan putrinya, Ramlah (26), melanjutkan sekolah ke sebuah perguruan tinggi di Makassar. Ia tak keberatan saat Ramlah menolak dinikahkan demi merampungkan studi sastra Inggris.

Saat ini, anak Kajang memiliki kesempatan yang lebih luas untuk belajar. Mereka bisa menempuh pendidikan formal mengingat di Kecamatan Kajang telah tersedia SMP yang dibangun tahun 1993. Juga ada SMA sejak lima tahun silam. Hal ini kelak melapangkan jalan bagi Adi yang bercita-cita jadi polisi.

Bocah seperti Jumalang dengan mimpi sederhana itu pun tetap berhak mengenyam pendidikan. Ia kini bisa menghitung harga sapinya. Itu tak lepas pula dari asuhan pendidikan nonformal yang digalakkan relawan dari luar Kajang, seperti Habibi dan Sulfiani.

Di dalam kesunyian yang secara sadar mereka pilih, Pallasa dan warganya yakin pendidikan itu mencerahkan. ”Bersekolah dan belajarlah, tetapi tetaplah sebagai orang Kajang,” ujarnya.

Mereka berdamai dengan modernitas....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar