Kamis, 23 Juni 2011

Kajang Dalam, Asketisisme yang Terkepung


(Oleh Aswin Rizal Harahap dan Maria Serenade Sinurat)

Pernah ke Kajang Dalam di Sulawesi Selatan? Jangankan orang asing, penduduk asli pun ”menyingkirkan” teknologi di luar sana, di luar tanah mereka. Dan, Ato (23) pun patuh. Penduduk asli Kajang itu memarkir motornya tepat di depan gerbang desa dan harus berjalan kaki terseok-seok memanggul dua karung gabah. Aswin
Setelah melewati jalan berbatu sepanjang 2 kilometer (km), Ato sampai di rumahnya, Dusun Benteng. 
Itulah bentuk penghormatannya pada ”pandangan dunia” masyarakat Kajang Dalam yang mereka sebut Kamase-masea, sebuah asketisisme purba yang menolak masuknya listrik dan kendaraan bermotor. Listrik? Motor, televisi, dan telepon seluler? Ya... semuanya ditaruh di luar desa. 


Jadi, kalau Anda selaku turis ingin bertandang, bagaimana? Inilah uniknya: Anda harus mengganti busana menjadi serba hitam dan semua alat modern dianjurkan tidak digunakan. Kamera foto? Silakan digunakan, tetapi jangan sekali-kali memotret pemimpin adat, Puto Pallasa (65), dan suasana ruang dalam rumah tinggalnya. 
Itu sebabnya, meski pemuda putus sekolah itu sudah setahun menggunakan sepeda motor, tetap saja motornya tak pernah bisa masuk ke desa adat Kajang Dalam. 
Motor itu mempermudah aktivitasnya bolak-balik menuju sawah dan pasar yang berjarak 5 km lebih dari Dusun Benteng, Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Bulukumba, Sulsel. 
Dalam konteks perubahan kawasan, pembangunan jalan dalam lima tahun terakhir juga telah merambah pelosok kawasan adat dan turut memengaruhi cara pandang Ato dan pemuda Kajang lain. Penetrasi infrastruktur bahkan telah menyentuh enam dusun di kawasan adat, yakni Pangi, Bongkina, Tombolo, Loraya, Barangbina, dan Sobbu. Karena itu, godaan teknologi baru—sepeda motor, televisi, dan lain-lain— mau tak mau menghampiri Kajang Dalam yang masih ketat memegang adat istiadat.

Karena perubahan alamiah seperti itulah Puto Pallasa, selaku pemimpin adat tertinggi (ammatoa), akhirnya mengizinkan sepeda motor masuk, tetapi tetap hanya sampai pinggiran wilayah keenam dusun adat itu.
Kawasan adat Kajang terbagi dua, Kajang Dalam dan Kajang Luar. Kajang Luar yang terdiri dari Dusun Balaguna dan Jannaya tumbuh ketika warganya menerima tawaran pemerintah membangun jalan dan listrik akhir 1990. Jadilah Kajang Luar kini diterangi listrik dan dibanjiri sepeda motor. Rumah adat pun jadi rumah tembok....
Hutan Kajang yang mengelilingi Kajang Dalam lestari berkat aturan ketat ammatoa. Bahkan, 75 persen kawasan hutan seluas 331,17 hektar itu dijadikan area terlarang, hanya digunakan untuk ritual pemilihan ammatoa. Sisanya, hutan yang boleh dimanfaatkan sebatas kebutuhan. ”Tanah bukan untuk dieksploitasi,” ujar Puto Saloh (60), warga Dusun Pangi yang juga salah satu tetua adat, tentang kawasan yang dihuni 900 keluarga di kawasan adat seluas 729 kilometer persegi itu. Bentuk, arah hadapan, dan bahan pembuat rumah seragam: berbentuk panggung, menghadap dataran tinggi, atap rumah daun kelapa, dengan 16 tiang kayu.
Menurut Puto Saloh, sikap ammatoa itu demi menghindari terjadinya konflik di kalangan warga. Namun, derasnya arus modernisasi tak menggerus keteguhan sikap ammatoa yang hingga kini memegang teguh prinsip Kamase-masea yang diajarkan leluhur.
Kamase-masea merupakan ajaran untuk hidup sederhana dan menjaga kelestarian alam sekitar yang menjadi sandaran hidup warga Kajang Dalam.



Ammatoa juga tetap menolak masuknya listrik di seluruh kawasan adat, termasuk Dusun Benteng. Selain lokasi kediaman ammatoa, Dusun Benteng juga dipercaya menjadi kawasan tertua yang ada di Kecamatan Kajang. ”Listrik dan kendaraan bermotor cenderung menawarkan kemewahan yang tidak sesuai dengan ajaran leluhur,” kata Puto Pallasa.
Namun, yang mengejutkan, Puto Pallasa justru menganjurkan warga desanya melek huruf. Dengan melek huruf, mampu membaca dan menghitung, otak dan nurani mereka tidak tumpul, tidak gampang dibodohi dan membodohi. 
Yusuf Akib dalam bukunya, Potret Manusia Kajang (Pustaka Refleksi, 2003), merumuskan, Kamase-masea mengajarkan masyarakat Kajang mengekang hawa nafsu, tidak merugikan orang lain, jujur, menjaga kelestarian alam, dan tak keblinger materi. Sikap materialistis mengundang akibat buruk dalam kehidupan.
Halilintar Latief, antropolog dari Universitas Negeri Makassar, melihat, kebersahajaan warga Kajang merupakan bentuk perlawanan atas materialisme yang mengepung dengan mengindahkan moralitas dan etika.
Sepintas gaya hidup komunitas Kajang Dalam—sekitar 200 km arah selatan Makassar—mirip masyarakat adat Baduy Dalam di Banten yang juga ”menutup diri” dari dunia luar. Bedanya, warga Baduy Dalam sudah ikut pemilu sejak 24 tahun silam.
Sebaliknya, pada komunitas Kajang Dalam, jangankan politik, interaksi sosial semacam sekolah dan transaksi jual-beli adalah hal tabu. Hingga kini ammatoa mengizinkan sekolah dan pasar tradisional dibangun, tetapi lokasinya harus di luar desa adat. Karena itu, warga mesti keluar kawasan untuk mengenyam pendidikan formal dan berbelanja. 
Rumah Puto Pallasa paling sederhana di desa itu. ”Pemimpin harus lebih bersahaja ketimbang orang-orang yang dipimpinnya,” kata Puto Pallasa.



Kesederhanaan terlihat pada keluarga Bolong (36), warga Dusun Pangi yang tengah menikmati hasil panen. Putra kedua dari enam bersaudara itu mendapat giliran memetik hasil panen dari 1 hektar sawah warisan orangtua mereka.
Ia pun mengundang kerabatnya untuk santap malam. Mereka menyantap makanan sambil berbincang dalam bahasa Konjo, campuran dialek Makassar dan Bugis. Aroma sup daging kuda dan telur rebus menyeruak di antara kepulan asap dan temaram sinar pelita.... (Nasrullah Nara)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar