Kampung Bugis Tinggal Nama, Disulap Jadi Pusat Bisnis
Laporan: Arsyad Hakim, Singapura
Sumber : http://www.fajar.co.id/read-20110706013637-kampung-bugis-tinggal-nama-disulap-jadi-pusat-bisnisArsyad Hakim/Fajar BANGGA. Andi Umar Yahya Andi Maggah saat membawa kami jalan-jalan di perkampungan Bugis dan Melayu di Singapura |
Dari sekian banyak etnis yang membentuk orang Melayu Singapura, Bugis dianggap paling besar pengaruhnya. Wajarlah jika pemerintah Negara Pulau itu mengabadikan etnis Bugis sebagai nama distrik penting di Negeri Jiran itu.
Bukan hanya nama Bugis, kawasan lain yang juga diambil dari Bugis adalah Sengkang. Di Singapura terdapat distrik Sengkang. Nama distrik itu diambil dari nama kota di Sulsel, ibu kota Kabupaten Wajo yang merupakan salah satu daerah asal perantau-perantau Bugis di Tanah Melayu.
Saat ini, kawasan Sengkang sudah menjadi bagian dari modernisasi Singapura. Di kawasan Sengkang, berdiri Markas Besar Kepolisian Singapura, kantor-kantor pemerintahan, sekolah, hingga kawasan bisnis dan pusat perbelanjaan.
Bugis dan Sengkang menjadi landmark, bukti kejayaan orang-orang Bugis di Negeri Jiran, Singapura. Kejayaan saudagar Bugis asal Kabupaten Wajo itu, terus berlanjut hingga turunan mereka saat ini.
Sayangnya di pemerintahan Singapura, pejabatnya didominasi etnis China. Sangat jarang keturunan Melayu dan Bugis memegang jabatan penting. “Mungkin ada ketakutan terjadi pemberontakan etnis Melayu dan Bugis. Mungkin itulah sehingga tidak diberi peluang memegang jabatan penting,“ kata Andi Umar Yahya Andi Maggah.
Ketakutan pemerintah Singapura itu, juga terbukti dengan dipindahkannya kilang gas terbesar di Singapura yang berada di kawasan Bugis Village. “Setelah tragedi WTC, kilang itu dijaga ketat tentara khusus. Kalau kilang itu meledak Singapura bisa habis. Makanya dipindahkan karena dekat dari perkampungan Bugis dan Melayu karena dianggap tidak aman,” kata pengusaha Singapura keturunan Bugis Wajo ini, saat mengantar saya dan dua rekan dari Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Sulsel mengunjungi beberapa lokasi yang berkaitan dengan etnis Bugis di Singapura, Senin lalu.
Tak bisa dinafikan, pengaruh etnis Bugis, khususnya dari Kabupaten Wajo memang cukup kuat. Khususnya di sektor perniagaan saat perdagangan masih menggunakan kapal kayu. Namun saat ini, sektor niaga sejak beralihnya kapal kayu ke kapal-kapal besi seiring dengan berkembangnya Singapura, sektor ekonomi dikendalikan pengusaha keturunan China. Itu juga terjadi di bidang politik dan pemerintahan.
Namun demikian, sebagian keturunan saudagar Bugis tetap eksis di sektor perniagaan dan jasa. Selama saya berada di Singapura dan Johor, Malaysia, secara kebetulan bertemu dengan tiga pengusaha keturunan Bugis. Menariknya karena ketiganya leluhurnya berasal dari daerah yang sama, yakni, Kabupaten Wajo.
Saudagar keturunan Bugis ini, sangat bangga dengan etniknya. Kendati lahir dan besar di Singapura dan Malaysia, mereka mengaku, sangat cinta dan menjunjung tinggi adat istiadat dan tradisi Bugis.
Di Singapura dan Johor, keturunan Bugis sangat dihormati sebagai keturunan bangsawan. Apalagi dalam sejarah Melayu, 9 dari 13 kerajaan dan kesultanan di Malaysia adalah keturunan raja-raja Bugis, termasuk kerajaan terbesarnya, Selangor, hingga Yang Dipertuan Agung (Raja Malaysia), yang dijabat secara bergantian oleh raja-raja dari negara bagian di Malaysia. Kejayaan Bugis yang berbaur sebagai orang Melayu itu pun, berpengaruh sampai ke Singapura.
Perkembangan Singapura yang tidak lepas dari pengaruh saudagar Bugis sehingga Negara Kepulauan itu, tetap mengenang jasa-jasa saudagar Bugis. Antara lain dengan tetap menggunakan gambar perahu Pinisi pada mata uang kertasnya.
Tak hanya itu, beberapa hotel menggunakan nama “Bugis”. Salah satunya, Santa Grand Hotel Bugis. Karena penasaran, saya bersama Andi Umar masuk ke hotel tersebut karena menyangka pemiliknya adalah orang keturunan Bugis. Ternyata saya salah kaprah.
Dari keterangan pegawai di hotel tersebut, diperoleh gambaran jika hotel itu tidak ada kaitan dengan pengusaha Bugis. Pemiliknya adalah pengusaha keturunan China.
Kendati diyakini banyak warga Singapura keturunan Bugis, Andi Umar mengaku, tak mengetahui persis keberadaan mereka. Beda dengan keturunan Bugis di Johor, sampai saat ini mereka tetap menjalin hubungan melalui persaudaraan yang dibentuknya.
Kalau di Singapura, Umar mengaku tidak tahu persis apakah ada kerukunan Bugis Singapura atau tidak. Yang ia tahu, di Singapura banyak pengusaha keturunan Bugis.
Salah satunya, Ahmad Daing. Ahmad yang juga keturunan Bugis Wajo, memiliki dua travel di Singapura dan Johor Bahru, Malaysia. Di usia senjanya, Ahmad Daing masih bersemangat menjalankan bisnis yang selama ini digelutinya. Ia malah membuat program wisata “Ayo Pulang Kampung”.
Program ini digagas dengan target warga keturunan Bugis di Singapura dan Johor, Malaysia. Dengan memanfaatkan peluang bisnis, terbukanya penerbangan langsung Singapura-Makassar. (*/bs)
Ketika Singapura jatuh ke tangan Inggris, orang-orang Bugis diyakini sudah melakukan perdagangan di Singapura.
Hingga kini kawasan Kallang masih ada. Bahkan kawasan yang dulunya menjadi perkampungan orang-orang Bugis itu, kini telah menjelma menjadi salah satu pusat bisnis Singapura.
“Okko ka ro ndik (di situ saya adinda, red) sering mandi-mandi dan main waktu kecil,“ kata Andi Umar Yahya Andi Maggah, 73, sambil menunjuk ke Kallang River (Sungai Kallang), Senin siang, 4 Juli.
Dulu, Sungai Kallang yang bermuara ke Laut China Selatan merupakan tempat berlabuhnya perahu-perahu nelayan dan saudagar Bugis. Tak jauh dari pinggir sungai besar itu, terdapat perkampungan orang-orang Bugis.
Sayang, saat ini perkampungan orang Bugis (Bugis Village) sudah tidak ada. Kawasan itu sekarang menjadi sebuah taman di tepi Sungai Kallang. Namun pemerintah Singapura tetap mengabadikan tempat tersebut dengan memberi nama Bugis Village.
Andi Umar memperkirakan kawasan itu diambil oleh pemerintah sekira 1950-an. “Sejak saat itu orang-orang Bugis berpencar,“ kata pengusaha Singapura keturunan Bugis Wajo yang masih lancar menggunakan bahasa Bugis dialek Melayu ini.
Saking bangganya dengan etniknya, kartu nama Andi Umar menggunakan aksara lontarak. Dalam keluarga pun ia tetap menanamkan tradisi dan adat Bugis kepada keempat anaknya. Sementara istrinya keturunan Arab-Melayu.
Pernah suatu waktu, cerita Umar, anak gadisnya naik bus. Di dalam bus ada lelaki Bugis bersama temannya mengobrol tentang anaknya. “Makerra to anak na tauwwe (manis juga anaknya orang) ...,” cerita Andi Umar. Saat anaknya mau turun dari bus, ia mengucapkan “taparajangnga dampeng Ogi ka iya (saya minta maaf, saya juga orang Bugis, red),“ kata anak Umar, seperti dituturkan ayahnya. Dan alangkah kagetnya orang di bus itu karena tidak menyangka orang yang diomonginya keturunan Bugis. Kendati beristrikan keturunan Arab-Melayu, keempat anak Umar diberi kata depan Andi. “Biar Bugisnya selalu melekat,” katanya.
Kembali ke Kampung Bugis, Andi Umar yang mengantar saya bersama dua rekan dari Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Sulsel, juga sempat membawa ke perkampungan Melayu di Singapura. Perkampungan yang mirif kawasan museum ini, banyak memajang foto-foto Kampoeng Bugis Singapura tempo dulu. Jika melihat foto-foto itu, Sungai Gallang sesak dengan kapal-kapal kayu pada abad ke XIX.
Suasana pelabuhannya mirif Pelabuhan Paotere, atau Pelabuhan Cappa Ujung Parepare. Dermaganya terbuat dari kayu. Andi Umar waktu kecil mengaku, masih menyaksikan geliat bisnis di kawasan itu.
Sebagai keturunan bangsawan dan Saudagar, Umar kala kecil sudah terlibat langsung dengan bisnis di kawasan Bugis Gallang. “Saya beli ayam kecil-kecil. Kalau sudah besar-besar dijual lagi,” kenangnya sambil tertawa.
Di museum Kampung Melayu ini, dipajang beberapa foto sultan keturunan Bugis. Fakta ini menunjukkan bahwa saudagar Bugis dan Melayu sudah berinteraksi sejak lama di Singapura. Mereka tak hanya berinteraksi dalam perniagaan, tapi juga dalam kawin-mawin.
Seiring perkembangan Singapura, Kampung Melayu pun tergusur. Kendati demikian, pemerintah Singapura membangunkan tempat sejenis museum. Inilah kemudian disebut “Malay Village“. Di dalam kawasan ini terdiri beberapa rumah adat Melayu. Ada juga aula dan miniatur melayu, seperti patung gerobak yang ditarik sapi.
Berbeda dengan etnik Bugis, pemerintah Singapura tidak membangun khusus museum untuk Bugis. Yang ada hanyalah Malay Heritage Museum (Museum Warisan Melayu). Di museum ini selain dipajang barang-barang khas Melayu, juga banyak koleksi dan sejarah kedatangan Bugis di Singapura.
Sayangnya saat saya ke Malay Heritage Museum, sedang tutup karena direnovasi. Namun di luar museum terdapat miniatur perahu Pinisi yang cukup besar. “Dulu ada dua perahu Pinisi, mungkin rusak sekarang tinggal satu,” kata Kabid Pemasaran Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Sulsel, Drs Syafruddin Rahim yang menemani saya ke Museum itu. Ikut juga Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan, Musyaffar Syah.
Hingga kini kawasan Kallang River memang masih ada. Bahkan tak jauh dari Bugis Village, berkembang pesat menjadi kawasan Bisnis Singapura. Karena dulunya adalah perkampungan Bugis, sebagai bentuk penghargaan pemerintah Singapura tetap mengabadikan nama Bugis.
Tak jauh dari Sungai Kallang Bugis diabadikan menjadi nama jalan, “Kampong Bugis Street“. Tak jauh dari situ terdapat distrik Bugis. Kawasan ini merupakan salah satu kawasan perdagangan terkenal di Singapura.
Di kawasan Bugis ini berdiri pusat perbelanjaan terkenal seperti Bugis Village, Bugis Junction, Bugis Square, dan Arab Street. Di kawasan ini juga terdapat masjid terbesar di Singapura, “Sultan Mosque“, yang merupakan masjid peninggalan pengusaha Bugis di zaman itu. Konon untuk membangun masjid itu, orang-orang Bugis mengumpulkan uang dan emas, bahkan mereka menjual tanahnya di kawasan Geylang, yang dulunya sebagian besar adalah milik orang orang Bugis.
Dari kampung-kampung Bugis ini lahir saudagar-saudagar kaya, yang kemudian berfungsi sebagai penyedia modal untuk para nelayan dan pedagang-pedagang yang mengarungi laut nusantara. Saudagar tidak menerapkan sistem upah, tapi sistem bagi hasil kepada anak buahnya (diatur dalam kesepakatan saudagar di bawah pimpinan Amanna Gappa). Bandar Singapura adalah tempat berkembangnya saudagar-saudagar Bugis dan melakukan temu niaga dengan saudagar-saudagar China, Saudagar India, dan Arab.
Portugis yang mencari jalan ke timur, kemudian menaklukan Malaka, memotong jalan dagang Saudagar India dan Arab, mencoba menerobos ke Jawa dan mendirikan loji di Sunda Kelapa, memby-pass Singapura. Mulailah sejarah penetrasi Eropa ke Asia Tenggara sebagai wilayah penghasil perikanan dan rempah-rempah. Link antara Saudagar Bugis dan Saudagar Arab dan India Mulai terputus, transaksi saudagar Bugis mulai menurun dan perlahan-lahan didikte oleh pedagang Barat.
Andi Umar yang masih keturunan Lamaddukelleng sesuai silsilah yang diperlihatkan ke saya, mengaku tidak tahu persis apakah dulunya tanah yang ditempati orang-orang Bugis di Kallang milik pemerintah atau bukan. “Iye ro wissengnge ndik nala meneng pemerintah (setahu saya diambil semua pemerintah, red),“ ujarnya sembari menambahkan bahwa sejak saat itu, sekira tahun 1950-an, keturunan Bugis berpencar di Singapura. “Mungkin sebagian pindah keluar Singapura,“ tambahnya.
Umar sendiri yang memang keturunan Saudagar, memilih menetap di Singapura karena memiliki beberapa lahan warisan orang tuanya. “Orang tua saya berpesan kalau meninggal bangunkan rumah di belakang masjid. Masjidnya wakapkan ke pemerintah,“ kata Umar yang sempat membawa saya ke kuburan orang tua dan leluhurnya di Singapura. Di belakang masjid itu terdapat kuburan keturunan Johor dan Bugis. Untuk kuburan keturunan Bugis batu nisannya diukir dengan aksara Lontarak.
“Iye na masigie tomatoakku punna. Tapi purami diwakafkan (masjid ini dibangun orang tua dan keluarga saya. Tapi sudah diwakafkan ke pemerintah,” beber Umar dalam bahasa Bugis dialek Melayu. Setiap Jumat keluarganya yang keturunan Bugis ramai ziarah ke kuburan ini. (*/bs)
Hingga kini kawasan Kallang masih ada. Bahkan kawasan yang dulunya menjadi perkampungan orang-orang Bugis itu, kini telah menjelma menjadi salah satu pusat bisnis Singapura.
“Okko ka ro ndik (di situ saya adinda, red) sering mandi-mandi dan main waktu kecil,“ kata Andi Umar Yahya Andi Maggah, 73, sambil menunjuk ke Kallang River (Sungai Kallang), Senin siang, 4 Juli.
Dulu, Sungai Kallang yang bermuara ke Laut China Selatan merupakan tempat berlabuhnya perahu-perahu nelayan dan saudagar Bugis. Tak jauh dari pinggir sungai besar itu, terdapat perkampungan orang-orang Bugis.
Sayang, saat ini perkampungan orang Bugis (Bugis Village) sudah tidak ada. Kawasan itu sekarang menjadi sebuah taman di tepi Sungai Kallang. Namun pemerintah Singapura tetap mengabadikan tempat tersebut dengan memberi nama Bugis Village.
Andi Umar memperkirakan kawasan itu diambil oleh pemerintah sekira 1950-an. “Sejak saat itu orang-orang Bugis berpencar,“ kata pengusaha Singapura keturunan Bugis Wajo yang masih lancar menggunakan bahasa Bugis dialek Melayu ini.
Saking bangganya dengan etniknya, kartu nama Andi Umar menggunakan aksara lontarak. Dalam keluarga pun ia tetap menanamkan tradisi dan adat Bugis kepada keempat anaknya. Sementara istrinya keturunan Arab-Melayu.
Pernah suatu waktu, cerita Umar, anak gadisnya naik bus. Di dalam bus ada lelaki Bugis bersama temannya mengobrol tentang anaknya. “Makerra to anak na tauwwe (manis juga anaknya orang) ...,” cerita Andi Umar. Saat anaknya mau turun dari bus, ia mengucapkan “taparajangnga dampeng Ogi ka iya (saya minta maaf, saya juga orang Bugis, red),“ kata anak Umar, seperti dituturkan ayahnya. Dan alangkah kagetnya orang di bus itu karena tidak menyangka orang yang diomonginya keturunan Bugis. Kendati beristrikan keturunan Arab-Melayu, keempat anak Umar diberi kata depan Andi. “Biar Bugisnya selalu melekat,” katanya.
Kembali ke Kampung Bugis, Andi Umar yang mengantar saya bersama dua rekan dari Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Sulsel, juga sempat membawa ke perkampungan Melayu di Singapura. Perkampungan yang mirif kawasan museum ini, banyak memajang foto-foto Kampoeng Bugis Singapura tempo dulu. Jika melihat foto-foto itu, Sungai Gallang sesak dengan kapal-kapal kayu pada abad ke XIX.
Suasana pelabuhannya mirif Pelabuhan Paotere, atau Pelabuhan Cappa Ujung Parepare. Dermaganya terbuat dari kayu. Andi Umar waktu kecil mengaku, masih menyaksikan geliat bisnis di kawasan itu.
Sebagai keturunan bangsawan dan Saudagar, Umar kala kecil sudah terlibat langsung dengan bisnis di kawasan Bugis Gallang. “Saya beli ayam kecil-kecil. Kalau sudah besar-besar dijual lagi,” kenangnya sambil tertawa.
Di museum Kampung Melayu ini, dipajang beberapa foto sultan keturunan Bugis. Fakta ini menunjukkan bahwa saudagar Bugis dan Melayu sudah berinteraksi sejak lama di Singapura. Mereka tak hanya berinteraksi dalam perniagaan, tapi juga dalam kawin-mawin.
Seiring perkembangan Singapura, Kampung Melayu pun tergusur. Kendati demikian, pemerintah Singapura membangunkan tempat sejenis museum. Inilah kemudian disebut “Malay Village“. Di dalam kawasan ini terdiri beberapa rumah adat Melayu. Ada juga aula dan miniatur melayu, seperti patung gerobak yang ditarik sapi.
Berbeda dengan etnik Bugis, pemerintah Singapura tidak membangun khusus museum untuk Bugis. Yang ada hanyalah Malay Heritage Museum (Museum Warisan Melayu). Di museum ini selain dipajang barang-barang khas Melayu, juga banyak koleksi dan sejarah kedatangan Bugis di Singapura.
Sayangnya saat saya ke Malay Heritage Museum, sedang tutup karena direnovasi. Namun di luar museum terdapat miniatur perahu Pinisi yang cukup besar. “Dulu ada dua perahu Pinisi, mungkin rusak sekarang tinggal satu,” kata Kabid Pemasaran Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Sulsel, Drs Syafruddin Rahim yang menemani saya ke Museum itu. Ikut juga Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan, Musyaffar Syah.
Hingga kini kawasan Kallang River memang masih ada. Bahkan tak jauh dari Bugis Village, berkembang pesat menjadi kawasan Bisnis Singapura. Karena dulunya adalah perkampungan Bugis, sebagai bentuk penghargaan pemerintah Singapura tetap mengabadikan nama Bugis.
Tak jauh dari Sungai Kallang Bugis diabadikan menjadi nama jalan, “Kampong Bugis Street“. Tak jauh dari situ terdapat distrik Bugis. Kawasan ini merupakan salah satu kawasan perdagangan terkenal di Singapura.
Di kawasan Bugis ini berdiri pusat perbelanjaan terkenal seperti Bugis Village, Bugis Junction, Bugis Square, dan Arab Street. Di kawasan ini juga terdapat masjid terbesar di Singapura, “Sultan Mosque“, yang merupakan masjid peninggalan pengusaha Bugis di zaman itu. Konon untuk membangun masjid itu, orang-orang Bugis mengumpulkan uang dan emas, bahkan mereka menjual tanahnya di kawasan Geylang, yang dulunya sebagian besar adalah milik orang orang Bugis.
Dari kampung-kampung Bugis ini lahir saudagar-saudagar kaya, yang kemudian berfungsi sebagai penyedia modal untuk para nelayan dan pedagang-pedagang yang mengarungi laut nusantara. Saudagar tidak menerapkan sistem upah, tapi sistem bagi hasil kepada anak buahnya (diatur dalam kesepakatan saudagar di bawah pimpinan Amanna Gappa). Bandar Singapura adalah tempat berkembangnya saudagar-saudagar Bugis dan melakukan temu niaga dengan saudagar-saudagar China, Saudagar India, dan Arab.
Portugis yang mencari jalan ke timur, kemudian menaklukan Malaka, memotong jalan dagang Saudagar India dan Arab, mencoba menerobos ke Jawa dan mendirikan loji di Sunda Kelapa, memby-pass Singapura. Mulailah sejarah penetrasi Eropa ke Asia Tenggara sebagai wilayah penghasil perikanan dan rempah-rempah. Link antara Saudagar Bugis dan Saudagar Arab dan India Mulai terputus, transaksi saudagar Bugis mulai menurun dan perlahan-lahan didikte oleh pedagang Barat.
Andi Umar yang masih keturunan Lamaddukelleng sesuai silsilah yang diperlihatkan ke saya, mengaku tidak tahu persis apakah dulunya tanah yang ditempati orang-orang Bugis di Kallang milik pemerintah atau bukan. “Iye ro wissengnge ndik nala meneng pemerintah (setahu saya diambil semua pemerintah, red),“ ujarnya sembari menambahkan bahwa sejak saat itu, sekira tahun 1950-an, keturunan Bugis berpencar di Singapura. “Mungkin sebagian pindah keluar Singapura,“ tambahnya.
Umar sendiri yang memang keturunan Saudagar, memilih menetap di Singapura karena memiliki beberapa lahan warisan orang tuanya. “Orang tua saya berpesan kalau meninggal bangunkan rumah di belakang masjid. Masjidnya wakapkan ke pemerintah,“ kata Umar yang sempat membawa saya ke kuburan orang tua dan leluhurnya di Singapura. Di belakang masjid itu terdapat kuburan keturunan Johor dan Bugis. Untuk kuburan keturunan Bugis batu nisannya diukir dengan aksara Lontarak.
“Iye na masigie tomatoakku punna. Tapi purami diwakafkan (masjid ini dibangun orang tua dan keluarga saya. Tapi sudah diwakafkan ke pemerintah,” beber Umar dalam bahasa Bugis dialek Melayu. Setiap Jumat keluarganya yang keturunan Bugis ramai ziarah ke kuburan ini. (*/bs)
tulisan yang menarik...apalagi kalau ke sabah malaysia..setiap jengkal ketemu orang bugis
BalasHapus